ETIKA PROFESI JAKSA
Kode etik jaksa serupa dengan kode etik profesi
yang lain. Mengandung nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku
dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan
akan melahirkan jaksa-jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik
dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan peradilan di Negara kita akan
mengarah pada keberhasilan.
Sebagai komponen kekuasaan eksekutif di bidang penegak hukum, adalah tepat jika
setelah kurun waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan
institusinya, sehingga dari perenungan ini, diharapkan dapat muncul kejaksaan
yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan,
sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan
tugasnya sebagai wakil negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan
hukum.
Kejaksaan merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari
tuntutan masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih
profesional dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah
rasanya kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat
ini . Sorotan serta kritik-kritik tajam dari masyarakat, yang diarahkan
kepadanya khususnya kepada kejaksaan, dalam waktu dekat tampaknya belum akan
surut, meskipun mungkin beberapa pembenahan telah dilakukan.
Sepintas lalu, masalah yang menerpa kejaksaan mungkin disebabkan merosotnya
profesionalisme di kalangan para jaksa, baik level pimpinan maupun bawahan. Keahlian, rasa
tanggung jawab, dan kinerja terpadu yang merupakan ciri-ciri pokok profesionalisme
tampaknya mengendur. Sebenarnya, jika pengemban profesi kurang memiliki
keahlian, atau tidak mampu menjalin kerja sama dengan pihak-pihak demi
kelancaran profesi atau pekerjaan harus dijalin, maka sesungguhnya
profesionalisme itu sudah mati, kendatipun yang bersangkutan tetap menyebut
dirinya sebagai seorang profesional. Hal yang
kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri,
tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangakat hukum yang ada. Pada ujungnya,
keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu sendiri, bagaimana
mewujudkannya secara ideal. Di sinalah maka penegak hukum itu menjadi demikian
erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum, antara lain
termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis, yang dapat
berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui
aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi
tujuan-tujuan yang dikandungnya.
Profesionalisme seorang jaksa sungguh sangat penting dan mendasar, sebab
sebagaimana disebutkan di atas, bahwa antara lain di tangannyalah hukum menjadi
hidup, dan karena kekuatan atau otoritas. Mungkin
bagi orang yang berpikiran normatif, ungkapan ini agak berlebihan. Akan tetapi,
secara sosiologis hal ini tidak dapat dimungkiri kebenarannya, bahkan beberapa
pakar sosiologi hukum acap menyebutkan bahwa hukum itu tidak lain adalah
perilaku pejabat-pejabat hukum.
Agar keahlian yang dimiliki seorang
jaksa tidak menjadi tumpul, maka kemampuan yang sudah dimilikinya seyogianya
harus selalu diasah, melalui proses pembelajaran ini hendaknya ditafsirkan
secara luas, di mana seorang jaksa dapat belajar melalui pendidikan-pendidikan
formal atau informal, maupun pada pengalaman-pengalaman sendiri. Karena hukum
yang menjadi lahan pekerjaan jaksa merupakan sistem yang rasional, maka
keahlian yang dimiliki olehnya melalui pembelajaran tersebut, harus bersifat
rasional pula. Sikap ilmiah melakukan pekerjaan ditandai dengan kesediaan
memperguanakan metodologi modern yang demikian, diharapkan dapat mengurangi
sejauh mungkin sifat subjektif seorang jaksa terhadap perkara-perkara yang
harus ditanganinya.
Dalam dunia kejaksaan di Indonesia terdapat lima norma kode etik profesi jaksa,
yaitu:
a.
Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun,
menjaga diri, berani,
bertanggung jawab
dan dapat menjadi teladan di lingkungannya.
b.
Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara aktif dan kreaatif dalam
pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil.
c.
Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para
pencari keadilan.
d.
Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif dan bijaksana dalam
diri, berkata dan bertingkah laku.
e.
Mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara daripada kepentingan pribadi
atau golongan.
Dalam usaha memahami maksud yang terkandung dalam kode etik jaksa tidaklah
terlalu sulit. Kata-kata yang dirangkaikan tidak rumit sehingga cukup mudah
untuk dimengerti. Karena kode etik ini disusun
dengan tujuan agar dapat dijalankan. Kemampuan analisis yang dikembangkan bukan
lagi semata-mata didasari pendekatan-pendekatan yang serba legalitas, positivis
dan mekanistis. Sebab setiap perkara sekalipun tampak serupa, bagaimanapun
tetap memiliki keunikan tersendiri. Sebagai penuntut, seorang jaksa dituntut
untuk mampu merekosntruksi dalam pikiran peristiwa pidana yang ditanganinya.
Tanpa hal itu, penanganan perkara tidaklah total, sehingga sisi-sisi yang
justru penting bisa jadi malah terlewatkan. Memang bukan persoalan mudah untuk
memahami sesuatu, peristiwa yang kita sendiri tidak hadir pada kejadian yang
bersangkutan, apalagi jika berkas yang sampai sudah melalui tangan kedua
(dengan hanya membaca berita acara pemeriksaan atau BAP dari kepolisian). Jika
pada tingkat analisis telah menderita keterbatasan-keterbatasan, maka sebagai
konsekuensi logisnya kebenaran yang hendak kita tegakkan tidaklah dapat diraih
secara bulat. Tidak adanya faktor tunggal, menyebabkan setiap perkara memiliki
keunikan sendiri.
Di dalam mengemban profesi, usaha-usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya
untuk memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata,
melainkan apa yang sesungguhnya benar-benar terjadi dan dirasakan langsung oleh
masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan
sosioligis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati
yang muncul dari sanubari anggota masyarakat secara mayoritas. Di samping
masyarakat Indonesia yang heterogen, kondisi yang melingkupinya pun sedang
dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal.
Sebagai kelengkapan dari pembinaan
dan etika profesi sebagai jaksa, berdasarkan keputusan jaksa agung nomor
Kep-074/J.A./7/1978 tanggal 17 Juli 1978, disahkan Panji Adhyaksa. Panji ini
merupakan perangkat kejaksaan, lambang kebanggaan korps, lambing cita-cita
kejaksaan dan mengikat jiwa korps kejaksaan.
Pada panji tersebuit terdapat lambing korps kejaksaan,
berbentuk lukisan yang terdiri dari tiga buah bintang bersudut tiga, Pedang,
timbangan, setangkai padi dengan jumlah 17 butir dan kelopak bungan kapas
sejumlah 8 buah melingkari pedang dan timbangan ditengahnya. Dibawahnya
terdapat seloka berbunyi Satya Adhi
Wicaksana.
Selanjutnya berdasarkan keputusan jaksa agung no.
kep-052/J.A./8/1979 yang disempurnakan oleh keputusan Jaksa Agung No.
kep-030/J.A./1988 ditetapkan doktrin kejaksaan tri karma adhyaksa, sebagai
pedoman yang menjiwai setiap warga kejaksaan. Doktrin tersebut kemudian
dijabarkan dalam kode etik jaksa yang diterbitkan oleh pengurus pusat persatuan
jaksa pada tanggal 15 Juni 1993 yang disebut tata karma adhyaksa, terdiri atas
pembukaan dan 17 pasal.
Dalam rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas
kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan tuigas penegakan hokum
dalam rangka mewujudkan keadilan dan kebenaran, maka dikeluarkanlah kode
prilaku jaksa sebagaimana tertuang dalam peraturan jaksa agung RI (PERJA) No. :
Per-067/A/JA/07/2007 tanggal 12 Juli 2007.
Dalam
kode perilaku jaksa antara lain disebut:
a. Kewajiban
pasal (3)
1. Mentaati kaidah hokum, peraturan
perundang-undang dan peraturan kedinasan yang berlaku
2. Menghormati prinsip cepat,
sederhana, biaya ringan sesuai dengan asas peradilan yang diatur dalam KUHAP.
3. Berdasarkan pada keyakinan dan alat
bukti yang sah untuk mencapai keadilan kebenaran
4. Bersikap mandiri, bebas dari
pengaruh, tekanan/ ancaman, opini public secara langsung atau tidak langsung
5. Bertindak secara objektif dan tidak
memihak
6. Memberitahukan dan atau memberikan
hak-hak yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa maupun korban
7. Membangun dan memelihara hubungan
antara aparat penegak hokum dan mewujudkan system peradilan pidana terpadu
8. Mengundurkan diri dari penanganan perkara
yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan,
partai atau financial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak
langsung
9. Menyimpan dan memegang rahasia
sesuatu yang seharusnya dirahasiakan
10. Menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
11. Menghormati dan melindungan hak-hak asasi manusia dan
hak-hak kebebasan sebagaimana yang tertera dalam peraturan perundang-undang dan
instrument hak asasi manusia yang diterima secara universal.
12. Menanggapi kritik dengan arif dan bijaksana
13. Bertanggung jawab secara internal dan berjenjang, sesuai
dengan prosedur yang ditetapkan
14. Yang bertanggung jawab secara eksternal kepada public sesuai
dengan kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat tentang keadilan dan
kebenaran
b. Larangan
(pasal 4)
Dalam
menjalankan tugas profesi jaksa dilarang:
1. Menggunakan jabatan dan atau
kekuasaanya untuk kepentingan pribadi atau pihak lain
2. Merekayasa fakta-fakta hokum dalam
penanganan perkara
3. Menggunakan kapasitas dan
otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik atau dan psikis
4. Meminta dan atau menerima hadiah dan atau keuntungan serta melarang
keluarganya meminta dan atau menerima hadiah dan atau keuntungan sehubungan
dengna jabatannya
5. Menangani perkara yang mempunyai
kepentingan pribadi atau keluarga, atau mempunyai hubungan pekerjaan, partai,
atau financial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak
langsung
6. Bertindak diskriminatif dalam bentuk
apapun
7. Membentuk opini public yang dapat
merugikan kepentingan kepenegakan hokum
8. Memberikan keterangan kepada public
kecuali terbatas pada hal-hal teknis perkara yang ditangani
c. Saksi.
1. Sanksui sesuai dengan
perundang-undangan
2. Tindakan administeratif
3. Jenis tindakan administrative
terdiri dari
a. Pembebasan dari tugas-tugas jaksa
paling singkat 3 bulan dan paling lama 1 tahun, dan selama masa menjalani
sanksi administrative tersebut tidak diterbitkan surat keterangan kepegawaiaan
b. Pengalihtugasan pada satuan kerja
yang lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar